Riview film The Greatest Showman
Riview The Greatest Showman
Sebelum Hugh Jackman menjadi seorang X-Man, dia adalah bintang panggung musikal peraih penghargaan, dan auranya sebagai idola tak pernah pudar. Bahkan saat dia memukuli penjahat sebagai Wolverine, dia selalu terlihat seolah lebih nyaman jika harus meletakkan tangannya di pinggul, menaruh satu kakinya di batang pohon, dan menyanyikan bagian chorus dari film musikal Oklahoma. Di layar, dia mendapat beberapa kesempatan untuk memamerkan kemampuannya menyanyi, sebagai penguin animasi di Happy Feet dan sebagai Valjean, yang tak bahagia, di Les Miserables. Namun dalam film terbarunya yang menyenangkan, The Greatest Showman, Jackman mendapat kesempatan untuk melepaskan kemampuannya sebagai penghibur, dan dia hampir tak berhenti menyanyi, menari, dan memutar topi tinggi yang dikenakannya dari awal sampai akhir film.
Pensiun menjadi Logan, Hugh Jackman meniti karir di bidang tarik suara deh. Karena penampilannya di film ini keren abis...
SINOPSIS
Kala ia masih kecil, Phineas Taylor “P.T.” Barnum (Hugh Jackman) berjanji kepada Charity Hallett (Michelle Williams) -yang tak lain adalah putri dari majikannya sendiri- bahwa ketika mereka sudah dewasa nanti ia akan menikahi sang gadis, meskipun saat ini Barnum muda hidup sendirian dalam kemiskinan pasca meninggalnya sang ayah. Bertahun-tahun kemudian, Barnum dewasa berhasil menepati janjinya kepada sang pujaan hati. Meskipun hidup dalam serba keterbatasan, keluarga kecil Barnum yang dikarunai oleh dua orang putri ini tetap optimis dan bahagia dalam menjalani keseharian mereka.
Sempat gagal dalam usahanya membuka sebuah museum lilin dengan uang pinjaman dari bank, ia kemudian mengumpulkan orang-orang dengan keterbatasan serta bentuk fisik yang unik sebagai atraksi utama untuk Barnum’s Circus miliknya yang sukses luar biasa.
Namun, kesuksesannya menggaet penulis teater kaya raya Phillip Carlyle (Zac Efron) sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perhatian Jenny Lind (Rebecca Ferguson); seorang penyanyi opera yang terkenal di Eropa membuat Barnum perlahan-lahan mulai haus akan kekayaan dan popularitas, sementara keluarga kecil serta sirkus yang menjadi tumpuan perjalanannya menjadi seorang showman terkenal ia tinggalkan.
Inilah kisah P.T. Barnum dalam mengarungi perkembangan dunia hiburan di abad 19, serta usahanya untuk menemukan kembali gairah dan motivasi yang membuatnya jatuh cinta pada dunia hiburan.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa meskipun The Greatest Showman terinspirasi oleh kisah hidup P.T. Barnum, tidak serta merta apa yang disajikan di film ini benar-benar terjadi di masa lalu.
Naskah yang ditulis oleh Jenny Bicks dan Bill Condon ini mengambil kebebasan artistik agar The Greatest Showman bisa berdiri sebagai sebuah tontonan drama yang diharapkan bisa memikat penonton, tanpa harus terlalu terikat dengan sejarah yang bisa berpotensi membuatnya menjadi terlalu datar atau melodramatis.
Sub-plot seperti skandal antara Barnum dan Lind, serta kisah asmara yang tumbuh di antara Carlyle dan pemain akrobat bernama Anne (Zendaya) yang semuanya fiksional sebenarnya memiliki potensi sebagai pelengkap kisah yang memikat, yang sayangnya penyajiannya terasa terlalu dangkal dan hampa.
Tema-tema yang ingin disinggung di film ini seperti persahabatan, kekeluargaan, dan cinta di film ini juga sebenarnya memiliki niat baik menambah substansi kisahnya, namun mungkin karena keterbatasan pada naskah serta jam terbang sutradara Michael Gracey yang masih rendah, semuanya terasa terlalu konvensional, “aman”, dan gagal mengangkat The Greatest Showman menjadi sesuatu yang istimewa.
Nah, bila penyajian ceritanya terasa kurang menggigit, maka The Greatest Showman memiliki kelebihan yang sangat luar biasa pada bagian musikalnya.
Komentar
Posting Komentar